Malaysia klaim Reog Ponorogo

Setelah gagal mengklaim lagu Rasa Sayange, Malaysia mencoba mengklaim kesenian yang lain. Adalah kesenian rakyat Jawa Timur: Reog Ponorogo yang diklaim Malaysia sebagai kesenian mereka.
Kalau kesenian Wayang Kulit yang mereka klaim tidak diubah namanya maka Reog mungkin karena ada embel embel nama daerah Ponorogo maka namanya diubah menjadi Tarian Barongan. Padahal wujud Reog itu bukan naga seperti Barongsai tapi wujud harimau dan burung merak. Malaysia bingung mencari nama baru sehingga dapat yang mudah saja, Tarian Barongan. Bukan itu saja, kisah dibalik tarian itupun diubah. Mirip seperti mereka mengubah lirik lagu Rasa Sayange. Kalau saja mereka menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut maka tidak akan ada yang protes. Padahal apa susahnya mencantumkan nama asli dan bangsa pemiliknya. Seperti yang mereka lakukan pada kesenian Kuda Kepang yang kalau di Indonesia lebih dikenal dengan nama Kuda Lumping. Malaysia mencantumkan nama asal kesenian Kuda Kepang dari Jawa. Kenapa tidak dilakukan pada kesenian yang lain seperti Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Batik, Angklung, Rendang dll. Kalau saja mereka lakukan itu maka konflik kedua negara bisa dihindari. Melihat kasus lagu Rasa Sayange yang akhirnya mereka akui sebagai lagu asal Indonesia maka sebaiknya Malaysia segera mengkonfirmasi semua kesenian asal Indonesia yang mereka kira asli milik mereka. Supaya rakyat kedua negara tidak bersitegang seperti sekarang.
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Sejarah Ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [1], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya [2]. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu. Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujang Anom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya[3]. Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku. Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan. Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar, Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya. Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa

SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_(Ponorogo)


Category: 1 komentar

Angklung sebagai warisan dunia dari Indonesia

Setelah sebelumnya, angklung alat musik bambu asli Indonesia diramaikan diklaim oleh Malaysia sebagai alat musik asli negara mereka, maka Alat musik tradisional Angklung akan dikukuhkan sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia atau “World Intangible Heritage” oleh UNESCO pada bulan November 2010.
“Insya Allah, Angklung pada bulan November atau Desember ini akan dikukuhkan sebagai `World Intangible Heritage` atau warisan dunia oleh UNESCO, yang berasal dari Indonesia” kata Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Prof dr H Arief Rachman, di Gedung Pakuan Bandung, Senin. Ia mengatakan, dengan dikukuhkannya angklung oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, maka tidak akan ada lagi negara lain yang mengaku (klaim) angklung. “Kalau Malaysia ingin memiliki (angklung) silakan saja, tapi kan harus dilihat sumber mata airnya (angklung) dari mana,” katanya. Selain angklung, pihaknya juga sedang mengupayakan agar budaya lainnya di Indonesia seperti Kain Tenun, Tari Saman bisa dikukuhkan sebagai akan dikukuhkan sebagai “World Intangible Heritage” atau warisan dunia oleh UNESCO yang berasal dari Indonesia. “Kami juga sedang mengupayakan agar kebudayaan lain di Indonesia seperti Tari Saman dan Kain Tenun bisa dikukuhkan UNESCO sebagai “World Intangible Heritage”,” katanya. Selain adanya pengamanan dan pengakuan angklung sebagai warisan budaya dunia, juga akan berdampak secara ekonomis. Para perajin angklung akan diuntungkan dengan mendapatkan banyak pesanan angklung dari dalam dan luar negeri. Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010. Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar. Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?] Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya. Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

SUMBER :
http://dreamindonesia.wordpress.com/2010/10/18/akhirnya-angklung-indonesia-jadi-warisan-budaya-dunia-pada-november-2010-malaysia-tidak-bisa-lagi-mengakuinya/
Category: 0 komentar

Bahasa Indonesia Dalam Pembelajaran Kebudayaan

kita tahu bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu di negeri ini. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Konsep kebudayaan daerah sering dipertentangkan dengan kebudayaan nasional. Namun, dengan tidak melibatkan diri dalam diskusi tentang kedua konsep kebudayaan yang dalam tatanan berbangsa dan bernegara sering dipertentangkan tersebut, karena yang satu menafikan keberadaan yang lain, maka konsep kebudaayaan daerah dalam tulisan ini mengacu pada kebudayaan yang terdapat pada sukubangsa-sukubangsa dalam suatu negara. Dengan kata lain, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang dimiliki oleh sukubangsa-sukubangsa yang tersebar di seluruh wilayah RI, seperti kebudayaan Jawa, Bali, Sasak, Samawa, Mbojo, Sunda, Bugis dll. Adapun kebudayaan itu sendiri merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland, 1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia. Semua itu merupakan milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat. Persoalannya mengapa kebudayaan itu harus ada? Orang memelihara kebudayaan untuk menangani masalah dan persoalan yang dihadapi. Agar lestari, kebudaayaan harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya, harus memelihara kelangsungan hidupnya sendiri, dan mengatur agar anggota masyarakat dapat hidup secara teratur. Dalam hal ini, kebudayaan harus menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Karena itu pula, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru atau mengubah persepsinya tentang keadaan yang ada. Persoalannya, bagaimanakan kebudaayaan (daerah) itu dibangun melalui bahasa ibu ? Dengan kata lain, bagaimana bahasa ibu itu berperan dalam membangun kebudayaan daerah ? White (dalam Haviland, 1999) berpendapat bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang. Seni, agama, dan uang, misalnya melibatkan pemakaian lambang. Kita dapat memahami semangat dan ketaatan yang dapat dibangkitkan oleh agama bagi yang mempercayainya. Sebuah salib, gambar atau benda pujaan yang manapun dapat mengingatkan penganutnya pada penganiayaan atau perjungan yang berabad-abad lamanya atau dapat menjadi pengganti sebuah filsafat atau kepercayaan yang lengkap. Dalam pada itu, aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, pengganti objek dengan kata-kata. Salthe (1972:402) menegaskan bahwa bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun. Pranata-pranata kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasai ekonomi tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa, seperti didefinisikan Edwar Sapir (1949:8) sebagai metode yang murni manusiawi untuk menyampaikan gagasan, emosi, dan keinginan dengan menggunakan sistem lambang yang diciptakan secara sukarela, manusia dapat meneruskan kebudayaan dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Dengan kata lain kebudayaan dipelajari dan diwariskan melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis. Dalam pada itu, bahasa khususnya, bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya atau yang sering disebut dengan konsep bahasa ibu (native language atau mother language) periksa Kridalakasana (1993: 22-23), diperoleh secara intuitif. Dengan demikian, maka dalam pemerolehan kebudayaan setempat oleh seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat di tempat itu berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala mereka mempelajari bahasa Ibunya. Melalui galur-galur ungkapan yang mapan, sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai contoh, melalui proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur leksikon dan atau kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep waktu dalam bahasa Samawa, secara simultan pula telah tertanam cara pandang pada diri anggota komunitas sukubangsa Samawa tentang konsep keberadaan dirinya dalam dimensi waktu yang beroriantasi pada masa kini yang lebih dekat dengan masa lampau dan masa mendatang. Selanjutnya orientasi budaya ini telah melahirkan perilaku komunal sukubangsa ini di antaranya berupa perilaku yang kurang menghargai sejarah, cenderung kurang mau belajar dari pengalaman terdahulu, percaya diri, kurang semangat kolektif yang dibarengi semangat individual yang relatif tinggi dll. Mengingat urgensi peran bahasa ibu, selain sebagai sarana komunikasi internal tetapi juga sebagai medium pembangunan, pengembangan, dan pewarisan budaya komunitas pemilik bahasa tersebut pada setiap anggota komunitasnya; serta memperhatikan usia kelas-kelas permulaan pada tingkat pendidikan dasar (kelas I-III SD/ MI) sebagai usia masih subur dalam pemerolehan bahasa (termasuk bahasa ibu), maka sebaiknya penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan pada jenjang tersebut menggunakan bahasa ibu. Dalam hubungan dengan penggunaan bahasa ibu (daerah) sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan, dapat dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Freeman dan Freeman (1992) yang menunjukkan bahwa peserta didik yang belajar di sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (bahasa Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS dan sejenisnya. Namun sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (periksa pula Cummins, 1989). Selain alasan di atas, pemberian pelajaran dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu pada tingkat permulaan dapat menjadi sarana bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta didik. Mereka merasa dihargai, karena bahasa yang mereka gunakan yang sekaligus menjadi sarana sosialisasi budaya yang membentuk diri mereka digunakan sebagai sarana dalam penyampaian pengetahuan di sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Dalam pada itu, secara psikologis mereka merasa aman berada di sekolah dan akan selalu siap untuk menerima pelajaran. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika pelajaran tertentu disampaikan dalam bahasa kedua yang belum dikuasai peserta didik. Selain mereka harus berjuang untuk memahami materi pelajaran juga dalam waktu yang bersamaan mereka harus mengerahkan segala potensinya untuk memahami bahasa yang digunakan dalam penyampaian materi pelajaran tersebut. Rasa putus asa dapat saja membayangi peserta didik, yang karena itu pula dapat memunculkan rasa kurang percaya diri. Mungkin itu salah satu sebab mengapa nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam pelajaran agama, atau PPKN di sekolah-sekolah misalnya, belum sepenuhnya dapat diaplikasikan peserta didik dalam kehidupan nyata, karena sesungguhnya mereka hanya memahami konsep itu secara verbal bukan secara substansial. Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahas Ibu Harus Seiring Sejalan Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya sering terpisah dari pengajaran bahasa. Joan Kelly Hall (2002) menyebutkan bahwa ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence), misalnya, memang mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa dengan lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi. Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Bahasa sebagai alat komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka hubungan kelompok sosial, dapat berimbas pula pada struktur interaksi kebudayaan secara menyeluruh. Antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz dan Antropolog Perancis Claud Levi-Strauss sepakat mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem struktur yang terdiri dari simbol-simbol, perlambang dan makna-makna yang dimiliki secara komunal atau bersama, yang dapat diidentifikasi, sekaligus bersifat publik. Sementara itu, menurut Gorys Keraf, fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan memang hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya, sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa peranan yang lain. Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Manusia Indonesia mempergunakan bahasa Indonesia sebagai wahana dalam berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah milik manusia. Bahasa mempunyai fungsi yang amat penting bagi manusia. Kedudukan bahasa Indonesia kini semakain mantap sebagai sarana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan formal. Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara di luar negeri, pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (BIPA) telah dilakukan di 46 negara, yang tersebar di seluruh benua dengan 179 lembaga penyelenggara. Lembaga-lembaga tersebut misalnya seperti perguruan tinggi, KBRI, pusat-pusat kebudayaan, sekolah Indonesia di luar negeri dan lembaga-lembaga kursus lainnya. Walaupun demikian, saat ini sangat sedikit sekali buku-buku pelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing yang beredar di pasaran. Selain itu, buku-buku yang sedikit tersebut juga kurang kompleks dalam memberikan gambaran yang lengkap mengenai bahasa dan budaya Indonesia. Umumnya, buku-buku yang sedikit tersebut hanya membahas hal-hal struktural kebahasaan saja. Sedikit sekali buku-buku pelajaran yang menyertakan aspek-aspek kebudayaan secara mendalam dalam pembahasan kebahasaan. Akibatnya, pembelajar memang menguasai aspek-aspek kebahasaan yang diajarkan, tetapi mereka sulit mengaplikasikannya dalam komunikasi sehari-hari karena sedikit sekali penggambaran kebudayaan mengenai latar belakang situasi penggunaan bahasa tersebut. Perkembangan pengajaran bahasa Indonesia yang telah memasuki ranah internasional tersebut hendaknya kita sikapi dengan positif. Konten pengajaran bahasa Indonesia hendaknya bukan menyangkut hanya hal-hal struktural kebahahasaan saja, tetapi juga seharusnya mengandung hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya. Sedemikian eratnya hubungan antara kebudayaan dan bahasa sebagai wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan ” desa yang besar”. Hal ini menegaskan kita pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang di bicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahasa Indonesia yang telah mulai memasuki ranah internasional-dengan mulai banyaknya dipelajari oleh penutur asing- dapat diupayakan seoptimal mungkin sebagai sarana pengembang, pendukung, dan penyampai kebudayaan Indonesia di dunia internasional. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan bangsa melalui pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing adalah dengan cara memaksimalkan konten-konten budaya pada materi-materi pengajaran bahasa. Misalnya, dalam pelajaran membaca, materi pelajaran adalah teks-teks yang sarat berisi kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang unik dan menarik, yang tidak hanya membantu mereka dalam menguasai aspek-aspek kebahasaan dalam bahasa Indonesia, tetapi juga membuat mereka mengenal budaya Indonesia lebih jauh melalui bahasa yang mereka pelajari. Meskipun ada perasaan sedikit miris dari karena anak muda dinegara kita belakangan ini lebih membudayakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri sedangkan orang asing mulai senang mempelajari bahasa kita, semoga saja tidak sampai benar-benar menghilangkan identitas bahasa Indonesia. Referensi : Kompasiana Wikipedia Artikel Kemendiknas

SUMBER :
http://imamfahruzisulistyono.blogspot.com/2012/10/bahasa-indonesia-dalam-pembelajaran.html
Category: 0 komentar

Tari- tarian Indonesia yang diklaim Malaysia

Tentang kebudayaan Indonesia… MEMBACA kegeraman mas Baskoro saat melihat betapa tersia- sianya Reog Ponorogo, aku teringat pada sebuah tulisan senada yang ditulis oleh Fary beberapa tahun yang lalu tentang Tari Pendet. Mengenai Reog Ponorogo, pada akhir tahun 2007, terjadi kegemparan saat sebuah tarian dengan tampilan mirip Reog yang diberi nama Barongan muncul di website milik Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia. Tarian Barongan tersebut diklaim sebagai warisan Melayu yang dilestarikan di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Bisa diduga, setelah ada klaim dari Malaysia itu, muncul berbagai keberatan, dan lalu hak cipta di tingkat dunia atas Reog Ponorogo segera diurus oleh pihak Indonesia. Tapi hak cipta ini memang bukan satu- satunya yang perlu diurus. Yang lebih penting lagi, seperti yang dikatakan oleh mas Baskoro, apakah kita memberikan apresiasi Reog Ponorogo itu seperti selayaknya, atau jangan- jangan kita sendiri sebenarnya tak perduli? Bukan hanya terjadi pada Reog Ponorogo, tapi Tari Pendet yang terkenal itu juga diklaim oleh Malaysia di sekitar tahun 2009 yang lalu. Tari Pendet merupakan tari selamat datang yang biasa disuguhkan masyarakat Bali kepada para tamu penting yang datang ke Pulau Dewata. Saat itu ada iklan “Visit Malaysia Year” dimana Tari Pendet yang dibawakan wanita berbusana adat Bali ditayangkan berkali-kali dalam iklan yang disiarkan di beberapa stasiun televisi di dalam dan luar negeri. Tentu saja gelombang kemarahan di Indonesia muncul menyambutnya. Ketika itu di blog miliknya, Fary menulis tentang hal tersebut, dan inilah kutipannya… *** Banyak warga Indonesia yang kebakaran jenggot (walau aslinya mungkin tak punya jenggot) ketika mendengar kabar soal tari Pendet yang diklaim negara tetangga Malaysia. Kegusaran itu bisa dipahami, kendati di sisi lain aku pikir Indonesia justru harus bersyukur!! Lho, kenapa bersyukur? Kenapa kita harus bersyukur jika kekayaan budaya dirampok negara lain dengan semena-mena? Indonesia harus bersyukur, karena klaim Malaysia tentang sesuatu yang jelas-jelas merupakan milik Indonesia, sebenarnya merupakan pengakuan terselubung dari negeri jiran itu. Pengakuan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang fantastis. Pengakuan bahwa Malaysia sebenarnya sangat miskin dengan budaya, dan saking miskinnya maka milik orang lain pun diakui. Logikanya begini. Jika ada milik kita yag ditaksir orang lain, atau bahkan dicuri atau digelapkan, berarti milik kita itu sangat berharga bukan? Dalam konteks tari Pendet, jika tarian itu diklaim sebagai milik, bukankah itu berarti merupakan pengakuan bahwa tari Pendet itu sangat bernilai harganya? ‘Perseteruan’ soal kekayaan budaya dengan Malaysia sebenarnya bisa dipahami, karena akar kita dengan mereka sama (atau paling tidak, kita berasal dari rumpun yang sama). Jadi jika mereka mengklaim sesuatu yang secara budaya dekat, itu sangat bisa dipahami. Yang jadi masalah jika pemerintah dan rakyat Indonesia baru berkoar-koar SETELAH Malaysia mengklaim. Sejauh ini, jujur saja, aku tidak melihat kepedulian pemerintah pada eksistensi tari Pendet. Dan harus juga diakui, kepedulian rakyat (termasuk blogger) juga sebenarnya nol untuk tari Pendet. Mungkin karena menganggap bahwa tari Pendet itu urusannya rakyat Bali. Dan setelah diklaim, barulah kita, baik yang punya jenggot maupun tidak, meradang!! Kasus tari Pendet ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita semua, untuk peduli pada kesenian dan budaya daerah. Jangan sampai kepedulian itu muncul sebagai reaksi, hanya setelah diusik Malaysia. Dengan kata lain, jika Malaysia tak bertindak lancang, belum tentu masyarakat dan pemerintah tergerak hatinya untuk, paling tidak, mengupayakan hak cipta bagi sejumlah produk budaya Indonesia. Jadi, dalam konteks ini, bisa dimengerti kan kenapa aku bilang kita harus bersyukur?
SUMBER : http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/28/tari-tarian-diklaim-malaysia-indonesia-seharusnya-bersyukur-442759.html


Category: 2 komentar

Budaya batik diklaim oleh malaysia

Klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Bangsa ini harus segera menghapus bayang-bayang yang meresahkan itu agar perajin batik Indonesia di kemudian hari tidak perlu memberi royalti kepada negara lain. Perajin batik Pekalongan, Romi Oktabirawa, mengatakan hal itu dalam pembentukan Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Romi mengatakan, generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh Unesco sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage).
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta. Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB Corak batik Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga memopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Batik
Category: 0 komentar